ABATANEWS, JAKARTA – Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri mengungkap nilai kerugian dalam kasus pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat yang libatkan adik Jusuf Kalla adalah total lost. Kerugian itu timbul akibat mangkraknya pembangunan hingga saat ini.
“Akibat dari pekerjaan ini, pembangunannya mangkrak sampai dengan saat ini dan sudah dinyatakan total lost oleh BPK,” ujar Kakortas Tipidkor Polri Irjen Pol. Cahyono Wibowo dalam konferensi pers, Senin (6/10/25).
Menurut Kakortas Tipidkor, total kerugian keuangan negara itu senilai USD62.410.523. Apabila dirupiahkan dengan kurs dollar saat ini yang menyentuh Rp16.600, maka mencapai Rp1,3 triliun.
Dalam kasus ini, tim penyidik telah menetapkan tersangka Dirut PLN 2008-2019 Fahmi Mochtar, Dirut PT BRN Halim Kalla, RR, dan HYL. Irjen Pol. Cahyono mengemukakan, saat ini tengah dilakukan penelusuran aset para tersangka.
Tersangka FM (Fahmi Mochtar) sebagai “Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Halim Kalla) selaku Presiden Direktur PT BRN, RR selaku Dirut PT BRN dan HYL selaku Dirut PT Praba,” paparnya.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau pasal 3 UU No.31/1999 tentang pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dalam UU 20/2001 tentang pemberantasan Tipikor Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sementaaa itu, Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri Brigjen Totok Suharyanto menjelaskan, proyek senilai triliunan rupiah itu bermasalah sejak awal karena adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang. PLN disebut sudah melakukan “permainan” dengan calon penyedia tertentu sebelum tender dimulai.
“Akan tetapi sebelum pelaksanaan lelang itu, diketahui bahwa pihak PLN melakukan permufakatan dengan pihak calon penyedia dari PT BRN dengan tujuan memenangkan PT BRN dalam Lelang PLTU 1 Kalbar,” ungkap Totok.
Hasilnya, panitia pengadaan PLN meloloskan dan memenangkan konsorsium KSO BRN, Alton, dan OJSC meski tidak memenuhi syarat administrasi maupun teknis. Lebih jauh, penyidik menemukan fakta bahwa dua perusahaan itu bahkan tidak pernah benar-benar tergabung dalam KSO yang dibentuk PT BRN.
“Termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan (fee) kepada pihak PT BRN,” ujarnya.
Ketidaksiapan proyek semakin terlihat ketika kontrak ditandatangani pada 11 Juni 2009, saat PLN belum mendapatkan pendanaan dan KSO BRN belum melengkapi syarat wajib. Hasilnya, pekerjaan yang seharusnya rampung pada Februari 2012 hanya mencapai 57 persen, dan meski kontrak diperpanjang hingga 2018, proyek itu tetap tak tuntas.
“Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323,19 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62,4 juta untuk pekerjaan Mechanical Electrical,” jelas Totok.
Kini, proyek PLTU 1 Kalbar tak kunjung bisa dimanfaatkan. Bangunan dan peralatan banyak yang terbengkalai, rusak, bahkan berkarat. “Total kerugian keuangan negaranya dengan kurs yang sekarang Rp1,35 triliun,” kata Irjen Cahyono.