ABATANEWS, MAKASSAR – Aksi unjuk rasa yang dilakukan Serikat Buruh Industri dan Pengolahan Energi (SBIPE) di depan kawasan PT. Huadi Nickel-Alloy Indonesia (PT HNI), Kawasan Industri Bantaeng telah berjalan selama 10 hari.
Selama 10 hari berturut-turut, ratusan buruh menunjukkan keteguhan sikap melawan praktik perampasan hak yang dilakukan oleh korporasi nikel asal tiongkok. Aksi ini merupakan respons tegas terhadap pemotongan upah pokok dan lembur yang dilakukan secara sepihak oleh PT. HNI.
Hal itu, jelas melanggar ketentuan Upah Minimum Provinsi Sulsel Tahun 2025, serta ketentuan tentang kerja lembur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Tak hanya itu, perusahaan juga secara sewenang-wenang merumahkan tanpa ada dialog, tanpa kepastian, dan tidak mematuhi prosedur hukum yang berlaku.
Baca Juga : Demo Buruh Hari Ini di Jakarta, Polda Metro Jaya Lakukan Rekayasa Lalu Lintas
“Kami dihadapkan pada kenyataan pahit, kerja siang malam tapi upah kami dicuri. Kami menuntut hak, bukan belas kasihan,” tegas Rizal, salah satu pimpinan lapangan aksi pendudukan dalam rilis yang diterima di Makassar, Rabu (23/7/2025).
Rizal juga mengungkapkan bahwa selama sepuluh hari aksi, belum ada itikad baik dari perusahaan untuk membuka ruang dialog atau menyelesaikan persoalan secara adil.
SBIPE juga mengecam keras langkah PT. HNI, alih-alih menjawab tuntutan yang sah dan konstitusional, aksi damai yang dijamin undang-undang justru dijawab dengan intimidasi dan upaya membelah solidaritas antarburuh.
Baca Juga : Huadi Group Jadi Sorotan Australia, Siap Buka Akses Investasi Dua Arah
Dalam pertemuan dengan Bupati Bantaeng dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) beberapa hari lalu, SBIPE telah menyampaikan lima tuntutan utama. Diantaranya, pembayaran penuh upah pokok sesuai UMP 2025.
Kemudsan pembayaran lembur sesuai aturan, memberikan kepastian jangka waktu upah seusai UMP bagi buruh yang dirumahkan, serta menuntut dialog setara antara buruh dengan perusahaan terkait semua tindakan perusahaan yang berkaitan dengan buruh.
“Perusahaan ingin kami menghentukan aksi, tapi kami akan terus berada di sini. Selama hak kami belum dikembalikan, selama keadilan belum ditegakkan, kami tidak akan mundur,” tegas Junaid Judda, Ketua SBIPE Bantaeng.
Baca Juga : Lapangan Kerja Susah, Jusuf Kalla Usul Alumni Baru Kembali ke Desa Majukan Daerah
Junaid menyatakan akan terus melanjutkan aksi dan memperluas dukungan hingga ke tingkat nasional. Solidaritas adalah senjata utama buruh, SBIPE akan terus memimpin perlawanan terhadap pengusaha rakus yang membangun kekayaan di atas penderitaan pekerja.
Selain pernyataan komitmen akan terus bartahan hingga tuntutan dipenuhi, Junaid juga kembali menegaskan tuntutan yang disampaikan dalam pertemuan yang dihadiri oleh Bupati Bantaeng dan jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan pihak perusahaan.
Tuntutan Kepada PT Huadi Nickel Alloy Indonesia
Baca Juga : Demo Hari Buruh di Makassar, Massa Rusak Mobil Seorang Ibu
– Membayar Upah Pokok Sesuai UMP 2025 Sejak Januari hingga Juni 2025
PT. Huadi hanya membayar upah buruh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan yang telah ditetapkan sebesar Rp3.657.527.
Hal ini adalah pelanggaran nyata terhadap Keputusan Gubernur Nomor 1423/XII/2024 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. SBIPE menuntut agar seluruh kekurangan upah pokok segera dibayarkan secara penuh dan tunai.
Baca Juga : Prabowo Janji Bentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional, Fokus Hapus Sistem Kerja Outsourcing
– Memberikan Kepastian Mengenai Masa Dirumahkan
PT. Huadi harus memperjelas berapa lama masa perumahan yang diberlakukan terhadap buruh. Tidak adanya kejelasan mengenai durasi ini memicu ketidakpastian hidup dan ekonomi kalangan buruh.
Kebijakan sepihak ini juga tidak diiringi dengan dialog sosial bersama buruh atau serikat pekerja, yang seharusnya menjadi prinsip dasar dalam hubungan industrial yang adil.
Baca Juga : Kebijakan Donald Trump Ancam PHK Massal Buruh di Indonesia
– Membayar Upah Selama Masa Dirumahkan Sesuai UMP 2025
SBIPE menegaskan bahwa buruh yang dirumahkan tetap berhak atas pembayaran upah sesuai ketentuan Pasal 155A UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Tidak ada alasan bagi perusahaan untuk menghindari tanggung jawab pembayaran upah tersebut.
– Membayar Seluruh Kekurangan Upah Lembur
Baca Juga : Usai PHK Massal Sritex, Menaker: Ada 10.666 Peluang Kerja di Solo
Selama ini, buruh bekerja hingga 12 jam sehari, melebihi batas waktu kerja reguler. Namun PT. Huadi tidak membayar upah lembur secara benar dan transparan.
Pemotongan dan penghitungan sepihak oleh manajemen menjadi bentuk pencurian terhadap tenaga dan waktu buruh. SBIPE menuntut audit dan pembayaran penuh atas seluruh kekurangan upah lembur sejak perusahaan beroperasi.
Tuntutan Kepada Pemerintah Daerah Dan Pusat
Baca Juga : Wamenaker Sebut Ada 80 Ribu Pekerja Kena PHK Sepanjang 2024
– Menjatuhkan Sanksi Administratif terhadap PT. Huadi
SBIPE mendesak Pemerintah Kabupaten Bantaeng, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera memberikan sanksi administratif terhadap seluruh bentuk pelanggaran ketenagakerjaan yang telah terbukti dilakukan oleh PT. Huadi.
Mulai dari pelanggaran UMP, ketidakpatuhan terhadap standar kerja layak, hingga tindakan sewenang-wenang merumahkan buruh.
Baca Juga : Status Pailit Sritex, Pemerintah Pastikan Tak Ada PHK Massal
– Membentuk Tim Pemantauan Aset PT. Huadi
SBIPE mendesak pemerintah membentuk tim khusus yang bertugas memantau seluruh pergerakan aset PT. Huadi. Langkah ini perlu diambil untuk mencegah potensi perusahaan melarikan aset dan meninggalkan tanggung jawab terhadap buruh dan masyarakat Bantaeng.
Ini penting agar pemerintah tidak kecolongan sebagaimana pernah terjadi dalam kasus-kasus serupa di sektor industri ekstraktif.
Baca Juga : Huadi Group Safari Kamtibmas di Mesjid Jami Rahmah Bungeng
Tuntutan Kepada Institusi Kepolisian
– Memproses Laporan SBIPE Terkait Pemotongan Upah Pokok dan Lembur
SBIPE telah melaporkan dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada aparat penegak hukum. Kami mendesak agar Kepolisian Resor Bantaeng dan Polda Sulsel segera memproses laporan tersebut secara transparan dan profesional. Pemotongan sepihak terhadap upah pokok dan lembur adalah pelanggaran hukum yang harus diseret ke ranah pidana.
Baca Juga : Huadi Group Safari Kamtibmas di Mesjid Jami Rahmah Bungeng
– Koordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk Mencegah Larinya Perusahaan dari Tanggung Jawab
Polisi harus aktif berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk memitigasi risiko perusahaan kabur dari tanggung jawab. Apalagi PT. Huadi belum memberikan jaminan bahwa seluruh kewajiban terhadap buruh dan masyarakat akan dipenuhi. Ini menyangkut keamanan ekonomi ratusan keluarga buruh yang telah menggantungkan hidupnya pada perusahaan ini.
Aksi yang bertahan hingga hari kesepuluh merupakan bukti perlawanan yang serius terhadap satu perusahaan, sekaligus upaya memutus rantai eksploitasi eksploitasi terhadap buruh. Kami tidak akan berhenti sebelum seluruh hak buruh dipenuhi.