Sabtu, 30 Agustus 2025 12:15

OPINI

“Agustus Kita” dan Respons sebagai Pendidik

“Agustus Kita” dan Respons sebagai Pendidik

Oleh: Ervyan Ramlan (Guru di Kabupaten Wajo)

Perubahan, bagi saya, selalu dimulai dari hal-hal yang paling dekat dengan kita, dari ruang lingkup yang bisa kita jangkau.

Awal Agustus ini, saya berusaha memberikan kontribusi sesuai kemampuan yang saya miliki untuk lingkungan terdekat, institusi tempat saya bernaung alias sekolah. Dan bagi saya, itu sudah cukup. Namun, di penghujung Agustus, kenyataan yang tampak justru berbeda. Banyak orang merasa belum benar-benar merdeka. Saya pun sadar, kemampuan saya tak bisa menjangkau lebih jauh. Apakah itu berarti saya harus diam? Tentu tidak. Hanya saja, cara meresponsnya mungkin berbeda.

Baca Juga : Makassar Recover; Peduliki’, Salamaki’

Mari kita merespons keadaan sesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing.

Saya, seorang pendidik yang tinggal jauh dari ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, sering berpikir berulang kali sebelum ikut menanggapi keadaan. Pikiran itu datang: “Apa gunanya? Tidak ada yang berubah.” Tetapi sisi kemanusiaan saya mendorong agar tetap memberikan respon, dengan cara yang sesuai peran saya sebagai guru.

Bagi saya, pendidik adalah sosok yang hadir di tengah muridnya, membawa kebaruan ilmu secara berkelanjutan. Guru tidak hanya belajar untuk dirinya, tetapi untuk kebutuhan murid-muridnya. Kedalaman ilmu, ketajaman rasa, dan kemuliaan akhlak murid sangat bergantung pada gurunya.

Guru dan Membaca

Baca Juga : Makassar Recover; Peduliki’, Salamaki’

Apakah guru masih perlu membaca?
Menurut saya, iya dan harus.

Saya bersyukur rasa itu masih ada dalam diri saya. Ada kerinduan yang muncul ketika kesibukan membuat saya jauh dari buku. Membaca bagi guru adalah kebutuhan, sebagaimana ibadah yang menempati ruang tersendiri dalam hidup.

Mengapa membaca begitu penting? Karena bertugas jauh dari kota membuat menulis menjadi salah satu bentuk nyata kontribusi yang bisa saya lakukan. Dan untuk bisa menulis, saya butuh “amunisi”. Amunisi itu adalah membaca. Banyak membaca, berarti banyak pula bahan untuk menulis.

Baca Juga : Makassar Recover; Peduliki’, Salamaki’

Dalam dua bulan terakhir, saya mengulas dua buku.

Pertama, Filosofi Pendidikan Anak karya Fahruddin Faiz. Buku ini membuka wawasan saya melalui gagasan empat tokoh besar yaitu Maria Montessori, Rabindranath Tagore, Abdullah Nashih Ulwan, dan Ki Hadjar Dewantara. Intinya, mereka sepakat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memerdekakan, bukan mengekang. Pendidikan harus lahir dari hati. Dengan hati, guru bisa membantu murid menemukan hakikat dirinya sebagai manusia.

Kedua, Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire. Buku ini terdiri dari empat bab yang saling terkait. Bagi saya, sangat relevan dengan suasana “Agustus kita” tahun ini. Freire menegaskan bahwa penindasan lahir dari mereka yang memiliki kekuasaan. Namun, revolusi justru ada di tangan kaum tertindas, bukan penindas. Kaum tertindaslah yang harus menyadarkan penindas, bukan menunggu penindas berubah dengan sendirinya.

Mengaitkan dengan “Agustus Kita”

Baca Juga : Makassar Recover; Peduliki’, Salamaki’

Kedua buku ini saya hubungkan dengan realitas hari ini, dengan peran saya sebagai guru sekaligus makhluk sosial.

Sebagai guru, kehadiran saya di sekolah adalah langkah nyata memberikan dampak bagi generasi penerus bangsa. Saya ingin murid-murid tumbuh menjadi pembaharu, penyejuk, dan pembawa kedamaian. Saya ingin mereka bertindak dengan hati dan cinta.

Sebagai makhluk sosial, saya terhenyak melihat peristiwa di Makassar semalam (29/8/2025). Melalui media sosial, saya menyaksikan dua gedung wakil rakyat dilalap api dalam amukan massa. Sekilas seperti menonton film fiksi, tetapi kenyataannya nyata. Saya teringat kembali pada gagasan Paulo Freire, “Kaum tertindas sering kali memilih jalannya sendiri.”

Baca Juga : Makassar Recover; Peduliki’, Salamaki’

Namun, sisi guru dalam diri saya berharap, semoga langkah itu lahir dari kesadaran murni, bukan karena ditunggangi kepentingan.

Revolusi Guru

Guru tetaplah guru. Dan saya tetap memilih berada di sekolah, menjalankan peran sederhana yang bisa saya lakukan: memerdekakan murid dengan ilmu, hati, dan cinta.

Kata Che Guevara, Revolusi tergerak dari keinginan yang kuat dan penuh cinta.”

Baca Juga : Makassar Recover; Peduliki’, Salamaki’

Maka, sederhananya begini, menjadi guru berarti terus membaca dan terus belajar. Kehadiran kita tidak harus berada di garis depan demonstrasi, bukan pula menyalakan kobaran api. Kehadiran kita adalah menghadirkan ilmu dan cinta bagi murid-murid. Dan ketika itu sudah kita lakukan, di sanalah revolusi seorang guru.

Merdekalah bangsaku!

Penulis : admin
Komentar